Syahdu di Kegelapan Goa Pindul
SUNGAI bawah tanah yang mengalir melalui Goa Pindul menawarkan keindahan tersendiri bagi yang melintasinya. Kalau sampai di zona gelap, yang tidak menyisakan sedikit pun cahaya, itulah kegelapan yang patut dinikmati setiap pengunjung.Inilah pengalaman wisata yang hendak ditawarkan Goa Pindul. Dengan menaiki ban dalam yang diisi angin, wisatawan mengapung melintasi goa kapur di atas permukaan air yang mengalir tenang. Di sepanjang jalan ada pemandu yang menjelaskan berbagai hal, mulai dari sejarah, kondisi geologis, hingga hewan yang tinggal di dalam goa itu.
Semua itu bisa dinikmati hanya dengan biaya Rp 30.000 per orang. Jumlah yang terhitung murah untuk belajar mengenai bentukan geologi, spesies kelelawar yang ada di dalam goa, hingga bermain di sungai bawah tanah yang airnya jernih.
Geowisata ini terletak di Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan perjalanan lebih kurang 1,5 jam menggunakan mobil, kita bisa sampai meski harus beberapa kali bertanya karena petunjuk ke obyek wisata itu baru ada 400 meter menjelang lokasi.
Beberapa patokan yang bisa dipakai untuk mencapai obyek wisata ini adalah Hutan Bunder, belok kiri saat mencapai Bunderan Siyono, dan beberapa kali berbelok hingga sampai ke pintu masuk menuju Desa Bejiharjo. Bagi wisatawan yang bingung dengan jalan ada jasa tukang ojek sejak Bunderan Siyono yang bersedia membimbing mobil hingga sampai di lokasi dengan imbalan seikhlasnya.
Tiga zona
Goa sepanjang 350 meter ini terbagi dalam tiga zona berdasarkan cahaya yang meneranginya, yaitu terang, remang, dan gelap. Sesuai namanya, zona terang berada di sekitar mulut goa dengan dinding goa berikut lekukannya yang jelas terlihat. Semakin masuk ke dalam akan bertemu dengan zona remang, saat mata mulai membiasakan diri dengan kegelapan.
”Di tempat yang serba gelap ini kita berkesempatan untuk merenung mengenai segala hal,” ujar Anas Saefulloh, pemandu yang mengantar Kompas dan rombongan content provider Telkomsel. Kami bersama mengambang di atas air.
Sejak mulut goa hingga masuk ke zona gelap, wisatawan sebaiknya tetap berada di atas ban sebab kedalaman air bisa mencapai 7 meter meskipun masing-masing memakai rompi pelampung. Goa ini cukup lega sebab jarak permukaan air ke atap goa mencapai sekitar 4 meter.
Selepas zona gelap, rombongan kembali memasuki ruangan dalam goa yang terang karena ada lubang di atapnya. Menurut Anas, lubang itu tercipta karena ada atap karst yang roboh sehingga sinar Matahari dapat masuk dan menerangi goa.
Di ruangan menjelang pintu keluar goa, air hanya setinggi lutut sehingga wisatawan bisa turun dari ban dan berjalan. Di sini wisatawan memanfaatkan kesempatan untuk berfoto bersama.
Begitu meninggalkan goa, wisatawan akan menemui bendungan yang menjaga debit air sungai di dalam goa. Di sanalah wisatawan bisa keluar dari air dan berjalan kaki sekitar 100 meter untuk kembali ke Sekretariat Desa Wisata Bejiharjo, tempat memulai perjalanan.
Pipi ”kebendhul”
Anas mengisahkan, kata pindul berasal dari kata pipi kebendhul atau pipi yang terbentur. Cerita di balik nama itu terkait dengan bayi dari Panembahan Senopati, tokoh yang disebutkan sebagai pendiri Kerajaan Mataram. ”Alkisah, bayi Panembahan Pasopati pipinya terbentur sewaktu berada di tempat ini saat hendak dimandikan,” ungkapnya.
Tanpa bermaksud terlalu dalam bercerita soal mitos di balik nama Goa Pindul, pemandu mengarahkan perhatian wisatawan pada keindahan bentukan geologi dalam goa, mulai dari stalaktit atau mineral yang menggantung dari langit goa yang terbentuk dari tetesan air berkapur hingga stalakmit yang datang dari arah sebaliknya.
Menjelang zona gelap diperlihatkan soko guru, sebuah tiang dari batuan kapur yang menghadang di tengah jalan. Tiang dari kapur ini bisa dikelilingi oleh lima orang yang bergandengan tangan.
Kawanan kelelawar yang menghuni goa juga menjadi atraksi tersendiri yang ditawarkan pengelola Goa Pindul. Dengan senter sederhana, pemandu menerangkan serba-serbi mengenai kelelawar itu, sambil menyorot sebagian binatang malam yang masih tertidur dengan badan tergantung dan kepala di bawah.
Dikemas swadaya
Wisata yang dikemas memikat ini ternyata dikelola sendiri oleh warga Desa Bejiharjo sejak mulai beroperasi tahun 2010. Anas mengungkapkan, warga desa antusias menggerakkan sektor pariwisata secara mandiri.
Dengan inisiatif tujuh orang, wisata di Goa Pindul ini akhirnya menjadi salah satu kebanggaan daerah karena menawarkan rekreasi di daerah Gunung Kidul yang terkenal gersang. Ribuan wisatawan sudah mengunjungi kawasan ini.
Tidak hanya segelintir warga yang menikmati buah dari wisata ini. Sekitar 50 warga direkrut menjadi pemandu wisata, 30 orang menjadi pengurus desa wisata, karang taruna mengelola tempat parkir, dan konsumsi diatur kaum ibu. Ada pula warga yang merombak rumahnya, dijadikan rumah tinggal (homestay) bagi wisatawan yang ingin menginap.
”Pendapatan pemandu sudah melampaui upah minimum provinsi yang nilainya mencapai Rp 800.000 per bulan,” kata Anas.
Bagi wisatawan yang menghendaki penyambutan, warga pun siap dengan baju tradisional dan seperangkat alat musik. Konsep dari pemberdayaan desa wisata ini adalah maju bersama.
Untuk oleh-oleh, Desa Bejiharjo menyiapkan suvenir berupa wayang sodo atau wayang yang terbuat dari batang lidi. Hanya saja, lanjut Anas, saat ini produksi wayang biting secara massal belum dimulai.
Di Desa Bejiharjo, bukan hanya Goa Pindul yang ditawarkan, tapi ada beberapa sajian lain yang dijual, seperti mengapung di Sungai Oyo dengan tebing kapur, menelusuri Goa Glatik dengan berjalan kaki, hingga wisata offroad dengan jalur 15 kilometer melintasi wilayah Desa Bejiharjo. Jadi, ayo ke Gunung Kidul...!